Jumat, 30 Juli 2010

Larangan Berfikir tentang Dzat Allah

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali


Allah SWT berfirman, yang artinya,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.'" (Ali 'Imran: 191).
"Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yaag ada di langit
dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan
bagi orang-orang yang tidak beriman.'" (Yunus:
101).
"Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah.
yang demikian itu adalah anggapan orang-orang
kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena
mereka akan masuk neraka." (Shaad: 27).
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya,
"Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan
jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat
Allah." (Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-
Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]).
Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid r.a., dari
Rasulullah saw., beliau bersabda: "Tiga jenis
orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi
nasibnya; orang yang memisahkan diri dari
jama'ah, ia mendurhakai imam dan mati dalam
keadaan durhaka. Budak wanita atau pria yang
melarikan diri dari tuannya, lalu mati. Dan
seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya
dengan memberi perbekalan yang cukup, lalu
sepeninggal suaminya ia bersolek (untuk lelaki
lain)." Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau
tanyakan lagi nasibnya; Orang yang merampas
selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah
adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah
kemuliaan. Orang yang ragu tentang Allah. Dan
orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah."
(Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad
[590], Ahmad [IV/19], Ibnu Hibban [4559], Ibnu
Abi 'Ashim dalam as-Sunnah [89], dan al-Bazzar
[84]).
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda, "Sesungguhnya syaitan
mendatangi salah seorang dari kamu, lalu
mengatakan, 'Siapakah yang telah
menciptakanmu?' ' Allah!' jawabnya. Lalu syaitan
bertanya lagi: 'Lalu siapakah yang menciptakan
Allah?' Jika kalian menghadapi hal seperti ini, maka
hendaklah ia mengucapkan, 'Aku beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya.' Sesungguhnya,
ucapan itu dapat menghilangkan waswas syaitan
itu." (Shahih, HR Ahmad [VI/258] dan Ibnu
Hibban dalam al-Mawarid [41])
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari
Rasulullah saw., beliau bersabda, "Sesungguhnya
syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu
berkata, 'Siapakah yang telah menciptakan ini?
Siapakah yang telah menciptakan itu?' Hingga
syaitan berkata kepadanya: 'Siapakah yang
menciptakan Rabb-mu?' Jika sudah sampai
demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada
Allah dengan mengucapkan isti'adzah dan
berhenti." (HR Bukhari [3276] dan Muslim [134]).
Dari jalur lain diriwayatkan dengan lafazh.
"Hampir tiba masanya orang-orang saling
bertanya sesama mereka. Sehingga ada yang
bertanya, ' Allah telah menciptakan ini dan itu, lalu
siapakah yang menciptakan Allah?' Jika mereka
mengatakan seperti itu, maka bacakanlah,
'Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Mahaesa.' Allah
adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala
urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia.' (Al-Ikhlas: 1-4). Kemudian,
hendaklah ia meludah ke kiri sebanyak tiga kali,
lalu berlindung kepada Allah dari gangguan
syaitan dengan mengucapkan isti'adzah." (HR
Abu Dawud [4732], An-Nasa'i dalam 'Amalul
Yaum wal Lailah [460], Abu Awanah [I/81-82],
Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhiid [VII/146]).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata,
"Rasulullah saw. bersabda, ' Allah SWT berfirman,
'Sesungguhnya ummatku akan terus-menerus
bertanya apa ini, apa itu?' Hingga mereka
bertanya, ' Allah telah menciptakan ini dan itu lalu
siapakah yang menciptakan Allah'" (HR Muslim
[136]).
Dalam riwayat lain ditambahkan, "Pada saat
seperti itu mereka tersesat." (Shahih, HR Ibnu Abi
Ashim dalam as-Sunnah [647]).
Kandungan Bab:
1. Allah SWT. telah menganjurkan dalam Kitab-Nya
agar berfikir dan bertadabbur. Anjuran ini ada dua
macam.
Pertama, anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-
Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat disimak.
Agar seorang hamba dapat memahami maksud
Allah swt dan dapat meyakini kehebatan atau Al-
Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang
tidak ada kebathilan di dalamnya, dari depan
maupun dari belakang. Sebagaimana yang Allah
SWT firmankan, "Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur-an? kalau kiranya al-Qur-
an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya." (An-Nisaa': 82).
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-
Qur'an ataukah hati mereka
terkunci?" (Muhammad: 24).
Kedua, anjuran memikirkan keagungan ciptaan
Allah, kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta ayat-
ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba
dapat merasakan keagungan al-Khaliq, dapat
mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah
SWT. firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa
yang ada di langit dan di bumi.'" (Yunus: 101).
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas
bagi mereka, bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan
apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu), bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu." (Fushshilat: 53).
2. Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah swt
yang dapat disaksikan dan mentadabburi ayat-
ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi
dengan keadaan atau waktu tertentu seperti yang
dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam,
dengan menggunakan istilah renungan pemikiran
dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah SWT,
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya
Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran:
191).
3. Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal
pikiran dan tidak akan bisa dikira-kirakan. Allah
SWT. berfirman, "Sedangkan ilmu mereka tidak
dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaahaa: 110). Karena
Dzat Allah Mahaagung dan Mahatinggi dari
kandungan permisalan dan qiyas.
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan
itu." (Al-An'aam: 103).
Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan,
tandingan dan juga permisalan, "Dan tidak ada
sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash:
4). Oleh sebab itulah melalui lisan Rasul-Nya, Allah
Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang
Dzat-Nya Yang Mahasuci.
4. Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring
pelakunya kepada keragu-raguan tentang Allah.
Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti
binasa. Sebab ia akan dicecar oleh pertanyaan-
pertanyaan membingungkan yang lahir dari
permikiran sesat, " Allah menciptakan ini dan itu
lalu siapakah yang menciptakan Allah?"
Pertanyaan itu pada hakikatnya sangat kontradiktif
dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah
Pencipta bukan makhluk! Allah SWT berfirman,
"Dia tidak beranak dan tiada pula
diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).
Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif
adalah sebuah kekeliruan, bahkan sebuah
kemustahilan dan ketidakmungkinan. Karena
kesamaran itulah, syaitan menerobos masuk ke
dalam hati manusia sehingga mereka ragu
tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya
menyamakan Allah (ak-Khaliq) dengan makhluk.
Tanpa ragu lagi. Makhluk pasti ada yang
menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak
berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan
dengan pertanyaan tentang siapa yang
menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam
penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk, wal
'iyaadzubillaah.
5. Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-
pemikiran syaitan ini, yaitu mengikuti tata cara Al-
Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh
Rasulullah saw.:
1. Membaca surat Al-Ikhlash.
2. Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.
3. Berlindung kepada Allah swt dari gangguan
syaitan yang terkutuk dengan membaca
isti'adzah.
4. Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya.:
5. Memutus waswas dan menghentikan
keraguannya.
6. Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang
paling mujarab untuk mengobati penyakit
waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya
daripada cara jidal (perdebatan) logika yang
sempit yang pada umumnya malah membuat
orang bingung. Hendaklah orang yang waras
akalnya memperhatikan benar sabda Nabi,
"Sesungguhnya hal itu dapat menghilangkannya."
Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata
ikhlas karena Allah dan ketaatan kepada Rasul-
Nya, maka syaitan pasti lari.
7. Kaum Salafush Shalih menerapkan metodologi
Al-Qur'an dalam memutus waswas ini.
Diriwayatkan dari Abu Zumail, ia berkata, "Aku
bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., kukatakan
padanya, 'Ada suatu perkara yang terlintas dalam
hatiku.'" "Apa itu?" tanya beliau. "Demi Allah, aku
tidak ingin membicarakannya!" jawabku pula.
Beliau berkata, "Adakah itu sesuatu yang
membuatmu ragu?" Beliau tersenyum, lalu
berkata, "Tidak ada seorang pun yang terhindar
dari hal itu. Namun Allah SWT telah menurunkan
firman-Nya, "Maka, jika kamu (Muhammad)
berada dalam keragu-raguan tentang apa yang
Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca al-Kitab
sebelum kamu." (Yunus: 94) Lalu ia berkata
kepadaku, "Jika engkau merasakan sesuatu yang
meragukan di dalam hati, maka katakanlah, 'Dia-
lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan
Yang Bathin; dan Dia Mahamengetahui segala
sesuatu.'" (Al-Hadiid: 3). (Shahih, HR Abu Daud
[5110]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-
Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis
Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi
Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah,
terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i,
2006), hlm. 91-98

Tidak ada komentar: